Memiliki Keturunan yang Shalih

Apabila dalam diri seorang anak berkumpul faktor genetika yang shalih, serta faktor pendidikan yang baik, maka dengan izin Allah akan menghasilkan seorang anak yang memiliki agama dan akhlak terbaik.

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Perempuan erat hubungannya dengan baik atau buruknya sebuah generasi. Karena dari rahimnya lah keluar para penerus. Dan di bawah naungannya lah para penerus tadi mendapat pendidikan yang pertama.

Muhammad Quthb berkata, “Seorang anak yang rusak masih bisa menjadi baik selama ia pernah mendapatkan pengasuhan ibu yang baik. Sebaliknya, ibu yang rusak akhlaknya hanya akan melahirkan generasi yang rusak pula akhlaknya.”

Abul Aswad Ad-Duaili berkata kepada anak-anaknya, “Sungguh aku telah berbuat baik kepada kalian sejak kalian masih kecil hingga kalian dewasa bahkan semenjak kalian belum dilahirkan.”

Anak-anaknya bertanya, “Bagaimana cara ayah berbuat baik kepada kami sebelum kami terlahir?”

Beliau menjawab, “Aku telah pilihkan untuk kalian ibu yang mana kalian tidak akan pernah kecewa kepadanya.”

Demikian juga dengan janin. Di samping ia memerlukan seorang ibu shalihah, memiliki agama yang kokoh sehingga mampu menjaga dan memeliharanya ketika masih berada di dalam kandungan serta dapat mewarisi sifat-sifatnya yang mulia. Janin juga memerlukan sosok seorang ayah yang shalih yang menjaga dirinya dan ibunya.

More

Ketika Para Calon Penerus Bangsa Bersuara

Anak-anak merupakan cermin kepolosan, kejujuran, ceriaan, dan semangat. Mungkin beberapa hal inilah yang dapat saya petik ketika mengadakan kegiatan bersama teman-teman pada salah satu sekolah dasar di Desa Hambalang, Kabupaten Bogor.
Berada di antara mereka terasa kembali ke 17 tahun silam. Canda tawa mereka menghapus lelah dan dahaga yang sempat menghampiri. Cita-cita mereka menumbuhkan keyakinan saya bahwa bangsa ini akan baik-baik saja. Negara ini masih memiliki zamrud-zamrud indah untuk masa depan yang lebih cerah.
Salah satu hal yang masih berbekas jelas di memori saya adalah bagaimana aktivitas mereka sebelum ke sekolah. Rata-rata murid-murid tersebut menjawab bahwa sebelum berangkat ke sekolah mereka menunaikan ibadah dan membantu orang tua. Luar biasa! Jawaban yang keluar dari bibir mungil mereka seolah menunjukkan bahwa di usia yang masih muda, mereka mampu memenuhi tanggung jawab.
Bukankah ini sebuah cerminan manusia Pancasila? Yang percaya akan Tuhan sebagai perwujudan sila pertama, ‘ketuhanan Yang Maha Esa’, serta memiliki adap yang baik terhadap orang tua sebagai perwujudan dari sila kedua, ‘kemanusiaan yang adil dan beradap’.
Ketika para anak kecil berbicara, mungkin kita yang tua dan merasa sudah dewasa berpikir bahwa itu hanyalah celotehan belaka. Namun, pernahkan kita mencoba melihat dalam-dalam bahwa apa yang mereka lakukan bisa menjadi contoh bagi kita sebagai manusia yang (ber)Pancasila. Kita sering teriak bahwa Indonesia adalah negara Pancasila, masyarakatnya adalah masyarakat Pancasila. Namun, apakah kita sejauh ini sudah melakukan seperti yang diamanahkan oleh sila-sila yang ada pada lambang negara ini?

Ketika para calon penerus bangsa berbicara… Kecilnya raga mereka tidak berarti bahwa kecil pula perhatian kita atas apa yang mereka bicarakan. Mungkin malah dari kepolosan dan ketulusan merekalah kita bisa belajar.

*Tulisan ini adalah renungan dari kegiatan Unhan Mengajar Universitas Pertahanan Indonesia

©noviafrd 19032015 08:02

Kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Erupsi Gunung Sinabung, Sumatera Utara Pada Aspek Psikologi.

Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulanan Bencana menyatakan bahwa rehabilitasi adalah kegiatan perbaikan dan pemulihan semua aspek layanan publik atau masyarakat sampai tingkat memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Sedangkan rekonstruksi merupakan pembangunan kembali semua prasarana dan sarana kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintah maupun masyarakat, berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, serta bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.

Susanto (2006) memaparkan bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi adalah bagian inti dari rencana pemulihan. Periode ini merupakan rangkaian setelah rencana darurat, berfokus pada aktivitas yang bertujuan memberikan kemampuan bagi korban untuk memulihkan kehidupan yang normal, layak, dan juga sebagai sarana untuk mata pencaharian. Bagaimana pun, setelah terjadinya bencana, ada kemungkinan tetap dibutuhkan bantuan kemanusiaan untuk kelompok-kelompok tertentu yang paling rentan akibat terjadinya bencana.

Terkait pasca erupsi gunung Sinabung, Sumatera Utara, dampak psikologis pada korban yang selamat (survivor) terutama yang masih berada di lokasi pengungsian berkembang seiring waktu dan kondisi sosial pascabencana. Kondisi psikologis yang muncul ditengarai seperti gejala depresi dan stres. Umumnya yang muncul di pengungsian adalah rasa jenuh dan gejala stres berkaitan dengan perasaan kehilangan keluarga, tempat tinggal, pekerjaan, dan harta benda. Kondisi tersebut juga ditambah dengan perasaan ketidakpastian terhadap bencana yang terjadi. Apalagi masyarakat setempat tidak berpengalaman menghadapi bencana erupsi sebelumnya. More

Cara Mengatasi Bencana (Coping Disaster)

Federal Emergency Management Agency (FEMA) menjabarkan beberapa hal yang dapat dilakukan terhadap orang-orang yang terkena dampak bencana (sumber: https://www.fema.gov/coping-disaster dioleh kembali secara pribadi).

Memahami kejadian dari bencana
Memahami bahwa kondisi emosional korban yang dilanda bencana kadang bisa lebih dahsyat daripada kehilangan rumah, bisnis, atau properti pribadi. Memahami bahwa adanya rasa cemas tentang keselamatan diri, keluarga, dan teman terdekat merupakan hal yang wajar. Memahami bahwa kesedihan mendalam, dukacita, dan kemarahan adalah reaksi normal dalam keadaan yang tidak normal. Berfokus pada kekuatan dan kemampuan untuk membantu
pemulihan pascabencana. Setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda dan cara yang berbeda untuk mengatasi.

Mengenali tanda-tanda stres akibat bencana
Ketika seseorang mengalami stres, mereka mungkin membutuhkan bantuan konseling. Oleh sebab itu, perlu kiranya mengenali tanda-tanda stres terkait bencana, di antaranya: kesulitan mengkomunikasikan pikiran, susah tidur, disorientasi atau kebingungan, kesulitan berkonsentrasi, keengganan untuk meninggalkan rumah, depresi, kesedihan, putus asa mudah mudah menangis berkepanjangan, perasaan bersalah yang luar biasa dan keraguan diri, takut akan orang banyak, orang asing, atau cenderung menyendiri.

Mengurangi stres terkait bencana
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membantu korban bencana dalam mengurangi stres, yakni: mengajak korban berbicara tentang perasaannya meskipun mungkin sulit, mencari bantuan dari konselor profesional yang berurusan dengan stres pasca-bencana. Memberi pemahaman kepada korban untuk tidak menyelahkan diri sendiri atau menjadi frustrasi karena mereka merasa tidak dapat membantu ketika penyelamatan, dll.

Membantu anak-anak menghadapi bencana
Bencana dapat menjadikan anak-anak merasa takut, bingung, dan tidak aman. Anak-anak mungkin menanggapi bencana dengan menunjukkan ketakutan, kesedihan atau masalah perilaku. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk membantu anak-anak menangani bencana yakni:

a) Mengenali faktor risiko, seperti kontak langsung dengan bencana, kehilangan keluarga, efek sekunder dari bencana seperti tinggal di tempat sementara, dll.

b) Mengenali kerentanan pada anak. Hindari hal-hal yang berhubungan dengan kejadian bencana, seperti abu, sirine, dan pengingat lain yang kembali dapat mengganggu perasaan mereka.

c) Memenuhi kebutuhan emosional anak. Memahami apa yang menjadi penyebab kecemasan dan ketakutan pada anak-anak. Menyadari bahwa setelah bencana, anak-anak akan takut jika becana tersebut terjadi kembali, seseorang yang dekat dengan mereka akan tewas atau cedera, mereka akan ditinggalkan sendiri atau terpisah dari keluarga.

d) Meyakinkan anak-anak setelah bencana. Beberapa hal yang dapat dilakukan, di antaranya menciptakan kontak pribadi yang meyakinkan seperti memeluk dan menyentuh, mendorong anak-anak untukberbicara tentang perasaan mereka, dll.

e) Memantau dan membatasi paparan media, karena pemberitaan terkait bencana dapat menimbulkan ketakutan dan kebingungan, serta membangkitkan kecemasan pada anak-anak.

RUJUKAN

McFarlane, Alexander C. 2005. Psychiatric Morbidity Following Disasters: Epidemiology, Risk and Protective Factors. Dalam Lopez-lbor, Juan Lose, et. al. Disaster and Mental Health (hlm. 37-64). West Sussex: Wiley.

Solomon, Susan D., Green, Bonnie L., 1992. Mental Health Effects of Natural and Human-Made Disasters. Diakses pada 26 Januari 2014 pukul 10.47 WIB dari http://www.ptsd.va.gov/professional/newsletters/research-quarterly/V3N1.pdf.

Federal Emergency Management Agency, 2015. Coping Disater. Diakses pada 26 Januari 2015 pukul 10.58 WIB dari https://www.fema.gov/coping-disaster.

Merantau

image

Tiba-tiba hati ini rasanya nyess banget pas lihat display picture BBM salah seorang teman tentang merantau. Kalimat demi kalimat yang tertulis bikin pilu hati. Pas banget dengan momen-momen dimana sebentar lagi saya harus merantau, meninggal kan keluarga yang sangat saya cintai.
Rasa sedih seketika menyerbu hati ini. Membayangkan bagaimana nantinya di negeri orang, dan yang pasti menahan rindu kepada orang tua itu nggak ada obatnya. Homesick is the worst thing for me.
Ah, ini nih yang nggak paling saya suka kalau sudah mau merantau. Ngebayangin say goodbye di bandara sama orang tua itu rasanya ngaco banget. Apalagi sempet Ibunda tercinta menitikkan air mata, haduh itu langsung bikin retak hati.
Tapi mau bagaimana lagi. Terlepas dari rasa sedih, pilu, gundah gulana pisah dan jauh dari orang tua, merantau benar-benar membuat saya bisa berbenah diri menjadi lebih baik. Mengerti bagaimana susah dan kerasnya hidup di negeri orang. Belajar bagaimana bertahan dan beradaptasi dengan orang lain dari berbagai latar belakang. Tidak dapat saya pungkiri, merantau merupakan salah satu proses menuju pendewasaan. Semogaa..

Merantaulah… agar kau tau bagaimana rasanya rindu dan kemana kau harus pulang

Merantaulah… engkau akan tahu betapa berharganya waktu bersama keluarga

Merantaulah… engkau kan mengerti alasan kenapa kau harus kembali.

Merantaulah… akan tumbuh cinta yang tak pernah hadir sebelumnya, pada kampung halamanmu, pada mereka yang kau tinggalkan

Merantaulah… engkau akan menghargai tiap detik waktu yang kamu lalui bersama ibu, bapak, adik, kakak, ketika kamu pulang ke rumah.

Merantaulah… engkau kan lebih paham kenapa orang tuamu berat melepasmu pergi jauh

Merantaulah… engkau kan lebih mengerti arti sebuah perpisahan

Merantaulah… semakin jauh tanah rantauan, semakin  jarang pulang, semakin terasa betapa berharganya pulang

Sekali lagi, merantaulah… engkau kan tahu kenapa kau harus pulang dan tahu siapa yang akan kau rindu…[]

©dilanovia 03082014

Previous Older Entries