Ketika Para Calon Penerus Bangsa Bersuara

Anak-anak merupakan cermin kepolosan, kejujuran, ceriaan, dan semangat. Mungkin beberapa hal inilah yang dapat saya petik ketika mengadakan kegiatan bersama teman-teman pada salah satu sekolah dasar di Desa Hambalang, Kabupaten Bogor.
Berada di antara mereka terasa kembali ke 17 tahun silam. Canda tawa mereka menghapus lelah dan dahaga yang sempat menghampiri. Cita-cita mereka menumbuhkan keyakinan saya bahwa bangsa ini akan baik-baik saja. Negara ini masih memiliki zamrud-zamrud indah untuk masa depan yang lebih cerah.
Salah satu hal yang masih berbekas jelas di memori saya adalah bagaimana aktivitas mereka sebelum ke sekolah. Rata-rata murid-murid tersebut menjawab bahwa sebelum berangkat ke sekolah mereka menunaikan ibadah dan membantu orang tua. Luar biasa! Jawaban yang keluar dari bibir mungil mereka seolah menunjukkan bahwa di usia yang masih muda, mereka mampu memenuhi tanggung jawab.
Bukankah ini sebuah cerminan manusia Pancasila? Yang percaya akan Tuhan sebagai perwujudan sila pertama, ‘ketuhanan Yang Maha Esa’, serta memiliki adap yang baik terhadap orang tua sebagai perwujudan dari sila kedua, ‘kemanusiaan yang adil dan beradap’.
Ketika para anak kecil berbicara, mungkin kita yang tua dan merasa sudah dewasa berpikir bahwa itu hanyalah celotehan belaka. Namun, pernahkan kita mencoba melihat dalam-dalam bahwa apa yang mereka lakukan bisa menjadi contoh bagi kita sebagai manusia yang (ber)Pancasila. Kita sering teriak bahwa Indonesia adalah negara Pancasila, masyarakatnya adalah masyarakat Pancasila. Namun, apakah kita sejauh ini sudah melakukan seperti yang diamanahkan oleh sila-sila yang ada pada lambang negara ini?

Ketika para calon penerus bangsa berbicara… Kecilnya raga mereka tidak berarti bahwa kecil pula perhatian kita atas apa yang mereka bicarakan. Mungkin malah dari kepolosan dan ketulusan merekalah kita bisa belajar.

*Tulisan ini adalah renungan dari kegiatan Unhan Mengajar Universitas Pertahanan Indonesia

©noviafrd 19032015 08:02

Bencana Alam dari Sudut Pandang Islam

Sejumlah personel TNI melakukan penyisiran di lokasi banjir bandang akibat  jebolnya tanggul Situ Gintung, Cirendeu, Tangerang, Jumat (27/3).

Islam memerintahkan manusia berbuat baik kepada sesama, begitu pula kepada alam. Jika manusia yang dipercaya sebagai khalifah di muka bumi ini acuh tak acuh kepada alam, maka manusia akan mendapatkan dampak buruk darinya.

Soal hujan, misalnya. Hujan yang awalnya menjadi sumber air dan pembawa rahmat (QS al-An’am [6]: 99) bisa berubah menjadi banjir bandang yang memusnahkan (QS al-Baqarah [2]: 59).

Angin yang awalnya berperan dalam proses penyerbukan tumbuh-tumbuhan (QS al-Kahfi [18]: 45) dan mendistribusikan awan (QS al-Baqarah [2]: 164), tiba-tiba berubah menjadi puting beliung yang meluluhlantakkan (QS Fushshilat [41]: 16).

Laut yang awalnya jinak (QS al-Hajj [22]: 65) tiba-tiba berubah menjadi tsunami yang menggulung apa saja yang dilaluinya (QS at-Takwir [81]: 6).

Bencana alam yang silih berganti di muka bumi tidak dapat dilepaskan dari pola interaksi manusia dengan lingkungannya. Manusia sering kali mengeksploitasi alam secara membabi buta (berlebihan), tanpa memikirkan akibat dari tindakan yang dilakukannya. Itulah di antara perilaku manusia yang dapat memicu munculnya berbagai bencana alam.

Islam sangat peduli terhadap persoalan lingkungan. Pelestarian lingkungan merupakan bagian daripada misi Islam. Maksudnya, Islam datang untuk menyelamatkan umat manusia dari kesengsaraan dan mewujudkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, fiddunya hasanah wa fil-akhirati hasanah (QS al-Baqarah [2]: 201). More

Tentang Sinabung #5 – Kegiatan Rehabilitasi-Rekonstruksi pada Aspek Psikologis untuk Relawan di Gunung Sinabung

Relawan juga tidak luput dari stress akibat pekerjaan yang mereka lakukan. Adapun sumber-sumber stres bagi para relawan yang diungkapkan oleh Enrenreich dan Elliot (dalam Halimah dan Widuri, 2012) yaitu:

  1. Tuntutan fisik yang berat dan kondisi tugas (kerja) yang tidak menyenangkan
  2. Beban kerja yang berlebihan, jangka waktu lama dan kelelahan kronis (chronic fatigue)
  3. Berkurang atau bahkan hilangnya privasi dan ruang pribadi
  4. Jauh dari keluarga menimbulkan kecemasan pada kondisi keluarga
  5. Kurangnya sumber-sumber yang tepat (adequate resources) baik secara personil, waktu, bantuan logistik atau skill (ketrampilan) untuk melakukan tugas yang dibebankan
  6. Adanya bahaya mengancam (penyakit, terkena gempa susulan, dan sebagainya), perasaan takut dan tidak pasti yang berlebihan
  7. Kemungkinan melakukan evakuasi yang berulang
  8. Kemungkinan menyaksikan kemarahan dan menurunnya rasa syukur dalam masyarakat korban
  9. Secara berulang, teringat akan cerita-cerita traumatis, tragedi atau kisah yang memicu ingatan trauma individu yang telah lampau
  10. Beban birokratis yang berlebih atau kurangnya dukungan (support) dan pengertian pimpinan organisasi
  11. Konflik interpersonal di antara anggota kelompok relawan yang di lapangan mengharuskan mereka untuk dekat dan saling bergantung pada waktu cukup lama
  12. Perasaan tidak berdaya kala menghadapi tuntutan yang melewati batas (overwhwelming need)
  13. Perasaan sakit karena tidak bisa memenuhi tuntutan yang ada
  14. Dilema moral dan etika
  15. Harus mampu menjaga netralitas (sikap netral) jika berada dalam situasi politik yang terpolarisasi
  16. Perasaan bersalah melihat korban bencana tidak memiliki makanan, tempat bernaung, dan kebutuhan lain.

Terkait relawan-relawan yang bertugas di Sinabung, beberapa upaya yang dilakukan untuk meringankan beban psikologis mereka, di antaranya memberikan layanan psikologis dan pembekalan bagi pekerja kemanusiaan yang diterjunkan ke Sinabung, serta memberikan pelatihan bagi profesional dan relawan lokal tentang pendampingan psikososial agar mereka mampu mandiri. More

Tentang Sinabung #4 – Kegiatan Rehabilitasi-Rekonstruksi pada Aspek Psikologis untuk Masyarakat Dewasa Korban Erupsi Gunung Sinabung

Salah satu kegiatan pelatihan pendampingan psikososial masyarakat terdampak erupsi Gunung Sinabung di Kabanjahe pada tanggal 26-28 Februari 2014. Sumber: Humanitarian Forum Indonesia

Salah satu kegiatan pelatihan pendampingan psikososial masyarakat terdampak erupsi Gunung Sinabung di Kabanjahe pada tanggal 26-28 Februari 2014. Sumber: Humanitarian Forum Indonesia

Beberapa pendekatan psikologis dan psikososial yang dapat dilakukan untuk membantu pemulihan masyarakat dewasa yang menjadi korban erupsi Gunung Sinabung, yakni:

a. Terapi religi
Dewasa ini perkembangan terapi dunia kedokteran telah berkembang ke arah pendekatan keagamaan (psikoreligius). Berbagai penelitian membuktikan bahwa tingkat keimanan seseorang erat hubungannya dengan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang merupakan stressor psikosiosial (Thoha, 2012). Terapi religi dapat menghadirkan ketenangan batin, dan ketentraman jiwa sehingga kesembuhan dapat terwujud.

Masyarakat Sinabung dapat disembuhkan melalui terapi religi tersebut seperti mengadakan kegiatan siraman rohani dengan mendatangkan ulama (bagi muslim) atau pendeta (bagi nasrani). Hal ini perlu diberikan sebagai motivasi bagi masyarakat agar tetap semangat dan tabah menghadapi cobaan yang mereka alami. Selain itu, siraman rohani juga diperlukan untuk mengajak masyarakat berfikiran positif, mengingatkan mereka untuk selalu beribadah, sembari bersyukur dan menerima segala yang terjadi dengan ikhlas, serta memberikan pengertian bahwa terdapat hikmah di balik peristiwa yang mereka alami saat ini. Semua hal tersebut dilakukan melalui pendekatan ketuhanan.

b. Terapi sosial kebudayaan
Frogatt (dalam Thoha, 2012) berpendapat bahwa berkumpul dengan orang lain yang memiliki masalah serupa kadang dapat membantu. Oleh karena itu, untuk mengurangi beban psikologis masyarakat Sinabung, mereka diajak untuk saling mengungkapkan apa yang dirasakan sehingga masing-masing merasa tidak sendirian karena banyak orang lain yang mengalami masalah serupa bahkan lebih berat. Dengan demikian, akan timbul semangat baru dan gairah hidup akan besar.

Mengajak korban bencana berbicara tentang perasaannya merupakan salah satu hal dalam proses coping disaster yang disarankan oleh Federal Emergency Management Agency (FEMA). Proses tersebut melibatkan bantuan dari konselor profesional yang berurusan dengan stres pasca-bencana. Selain itu, penting juga untuk memberi pemahaman kepada korban untuk tidak menyelahkan diri sendiri atau menjadi frustrasi karena mereka merasa tidak dapat membantu ketika penyelamatan. More

Tentang Sinabung #3 – Dampak Erupsi Gunung Sinabung Terhadap Masyarakat dari Aspek Psikologis

Masyarakat yang mengungsi akibat erupsi Gunung Sinabung

Sebagaimana bencana alam lainnya, Erupsi Gunung Sinabung menyisakan beragam cerita dan kegelisahan bagi masyarakat, terutama masyarakat yang berada dekat dengan lereng gunung, seperti tidak memiliki rumah yang layak, tidak memiliki pekerjaan tetap, trauma akibat banyaknya keluarga yang meninggal, serta hancurnya rumah beserta harta benda lainnya. Akibatnya, banyak masyarakat mengalami gangguan psikologis maupun fisiologis, terutama gangguan kejiwaan seperti trauma, stress, tidak mau makan, susah tidur, sering pingsan, suka menyendiri, mudah sedih, sakit kepala, diare, dan lain sebagainya.

Berkaitan dengan gangguan kejiwaan, terdapat berbagai macam gejala yang dapat dilihat atau diidentifikasi baik melalui ungkapan perasaan (psikologis) atau melalui gejala-gejala fisik yang dirasakan seperti cemas, tress, depresi, panik, stress pasca trauma, dan khawatir, yang mungkin dirasakan oleh masyarakat Sinabung.

a. Khawatir: merupakan rangkaian pikiran dan citra negatif tentang keprihatinan yang biasanya berkaitan dengan masa depan. Khawatir meliputi kombinasi antara pemikiran obsesif tentang cara memecahkan atau menghindari masalah dan proses memperburuk konsekuensi yang mengkin timbul.

b. Cemas: manifestasi dari berbagai proses emosi yang sedang bercampur baur yang terjadi ketika seseorang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Kecemasan memiliki segi yang disadari seperti rasa takut, terkejut, tidak berdaya, rasa berdosa atau bersalah, terancam, dan sebagainya.

c. Panik: gejala klinis gangguan panic yaitu kecemasan yang datang mendadak disertai perasaan takut mati, disebut juga sebagai rangkaian panic (panic attack).

d. Stress pasca trauma: gejalanya yakni terdapat stressor traumatis yang berat dan jelas menimbulkan gejala penderitaan yang berarti bagi setiap individu, penghayatan yang berulang-ulang dari trauma, serta penutupan respon terhadap dunia luar.

e. Depresi: suatu kelemahan psikologis yang sering diiringi dengan berbagai tingkat kegelisahan atau keputusasaan.

Selain beberapa hal tersebut, kondisi psikologis masyarakat juga ditambah dengan perasaan ketidakpastian terhadap bencana yang terjadi, terutama bagi masyarakat yang tinggal dekat dengan titik rawan. Masyarakat Karo pun tidak berpengalaman menghadapi bencana erupsi sebelumnya sehingga ketangguhan masyarakat juga masih sangat minim.

To be continue…

Previous Older Entries