Pemberitaan Lady Gaga di Mata Metro TV dan di Mata Saya

Beberapa hari belakangan semua media sibuk memberitakan masalah jadi tidaknya konser Lady Gaga digelar di Indonesia. Sama-sama kita ketahui, masalah tersebut muncul karena beberapa pihak tidak menyetujui wanita asal Amerika itu unjuk suara di negara ini karena ditakutkan akan merusak moral bangasa. Penampilan Gaga lah yang menjadi penyebabnya. Penyanyi yang berhasil menyabet lima Gramy Award ini dikenal dengan tampilannya yang eksentrik dan sensasional. Ditakutkan, ketika Gaga tampil dengan gaya khasnya itu, akan mempengaruhi moral bangsa Indonesia yang menyaksikannya.
Well, saya tidak akan membahas tentang itu karena saya rasa media lebih dalam membahas hal tersebut. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah analisa saya terhadap pemberitaan Lady Gaga di Metro TV. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjatuhkan citra Metro TV. Tidak ada maksud sedikit pun. It’s Just My Opinion!
Well, setelah melihat beberapa pemberitaan tentang Lady Gaga di Metro TV, saya menilai bahwa pemberitaan Lady Gaga di stasiun tv tersebut cenderung subjektif. Subjektifitas ini lebih terlihat ketika saya menyaksikan program Suara Anda edisi Kamis (17/05). Suara Anda merupakan program acara Metro TV yang menampilkan beberapa berita hangat, memberi kesempatan  kepada masyarakat untuk menelpon, dan memilih berita mana yang ingin disaksikan, serta dilanjutkan dengan komentar singkat terhadap berita tersebut.
Beberapa berita yang disuguhkan, dua di antaranya adalah berita tentang Lady Gaga. Yang paling saya ingat adalah berita yang berjudul Lirik Inspiratif Lady Gaga. Berita ini berisi tentang salah seorang blogger memposting tulisan di blognya yang menyatakan bahwa lirik lagu Lady Gaga itu sangat inspiratif.
Nah, berita yang satunya mengenai konser Lady Gaga yang teramcam batal. Isi dari berita tersebut menurut saya terlalu subjektif dan malah menyudutkan pihak kepolisian. “Pemerintah seharusnya memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berekspresi”. Seperti itu kira-kira kalimat penutupnya.
Subjektifitas juga terlihat ketika presenter dalam program tersebut berbincang-bincang dengan penelpon. Saat presenter mengajukan pertanyaan, kalimat pertanyaannya saja menjurus ke arah subjektif. “Menurut Anda, apa mungkin moral bangsa rusak akibat menonton konser Lady Gaga yang hanya dua jam?”.
Di sessi terakhir, ada salah seorang penelpon yang mendukung jika konser Gaga batal. Saat penelpon itu mengajukan opininya, presenter tersebut mengajukan pertanyaan sama, “Menurut Anda, apa mungkin moral bangsa rusak gara-gara konser Lady Gaga”. Menurut saya itu bukan pertanyaan yang netral. Jelas sekali ada subjektifitas di dalamnya.
Pada pemberitaan Lady Gaga yang lain pun Metro TV seolah-olah menjadi “kompor” masyarakat. Ikut memanas-manasi masyarakat bahwa penolakan konser Lady Gaga merupakan hal yang tidak tepat. Seharusnya, sebagai media yang notabenenya adalah pengantar informasi dari komunikator (sumber) kepada komunikannya, Metro TV harus bisa memberitakan secara objektif/cover both side.
Secara pribadi, saya setuju dengan apa yang disampaikan pihak kepolisian, FUI, atau MUI. Namun, alasan yang mereka sampaikan memang tidak kuat. Tidak hanya saat konser, sebelum konser pun, dari video klip Lady Gaga saja moral bangsa pun bisa rusak. Nah, saya pribadi melihat bukan masalah moralnya, tapi masalah ideologi masing-masing individu Indonesia (bahkan di negara-negara lainnya) yang secara tidak sadar telah terpengaruh dengan “ideologi” yang dibawa oleh Lady Gaga. Saya percaya, seratus persen percaya bahwa Gaga menganut paham Judaism, Yahudi, dan apa pun istilahnya. Lagu-lagunya banyak mengandung himbauan atau ajaran yang “dihias” secara “cantik” sehingga terdengar seperti lagu pada umumnya. Padahal, di dalamnya terkandung himbauan dari paham tersebut. Tak hanya itu, lihat saja perangkat-perangkat yang ada di video klipnya. Perangkat tersebut merupakan simbolisasi dari paham yang ia anut.
Inilah yang paling berbahaya. Paham-paham yang masuk melalui lagu dan kita sebagai pendengarnya secara terbuka menerima. Berbeda ketika paham komunis masuk ke Indonesia. Bangsa Indonesia sadar dan sangat jelas penolakkannya. Lha kalau sekarang, para penyebar paham-paham sesat semakin cerdik, tidak mau menggunakan cara-cara klasik. Mereka menyebarkan paham secara perlahan tapi pasti menggunakan alat–di mana orang-orang pasti senang dan tidak akan menolak. Seperti halnya lagu atau film.
Banyak yang bilang, “semua tergantung individunya”. It’s OK! Bisa diterima, tapi tidak bisa menjamin. Saya menyebutnya ideologi putih. Ideologi (sesat) yang secara “cantik” menembus alam bawah sadar targetnya dan target tersebut secara terbuka (tidal sadar) menerima ideologi tersebut. Inilah yang harus diwaspadai.[]

©dilanovia 17052012 21:32

Analisa Siaran Berdasarkan UU Penyiaran No 32/2002 (Tugas Mata Kuliah Hukum dan Etika Pers)

PENTING!
SILAHKAN COPY PASTE TULISAN INI, NAMUN SERTAKAN SUMBER LENGKAPNYA
(Penulis, Judul, URL, Waktu Akses)
JADILAH PELAJAR YANG BERTANGGUNG JAWAB DAN MENGHARGAI KARYA ORANG LAIN
SAY, NO TO PLAGIAT!

Tulisan ini merupakan analisa terhadap 14 konten penyiaran di beberapa media massa elektronik di Indonesia. Siaran-siaran yang dipilih, penulis analisa berdasarkan UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Penulis juga menghubungkan dengan peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02/P/KPI/12/2009 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran, Nomor 03/P/KPI/12/2009 tentang Standar Program Siaran, dan Etika Pariwara Indonesia. Ketiganya memiliki kaitan erat dengan UU Penyiaran No 32/2002.

1. Program-program televisi (contoh: reality show, sinetron, talk show, dll)

Banyak program-program TV di berbagai stasiun TV tidak mencantumkan hak siar mereka sebelum acara tersebut ditayangkan.

Pelanggaran UU Peyiaran 32/2002 Pasal 43 tentang Hak Siar

Ayat 2: Dalam menayangkan acara siaran, lembaga penyiaran wajib mencantumkan hak siar.

Ayat 3: Kepemilikan hak siar sebagai mana dimaksud dalam ayat (2) harus disebutkan secara jelas dalam mata acara.

2. Opening dan Closing di Stasiun Televisi Swasta

Pelanggaran UU Peyiaran 32/2002 Pasal 51 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran

Ayat 2: Semua lembaga penyiaran wajib mentaati keputusan yang dikeluarkan oleh KPI berdasarkan pedoman perilaku penyiaran.

Pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran Pasal 48 tentang Siaran Pembuka dan Penutup

Lembaga penyiaran wajib membuka dan menutup program siaran dengan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.

3. Program Hitam Putih on The Weekend Trans 7 (Edisi 003: Desi Ratnasari, 7 April 2012)

Review: Anak Desi Ratna Sari, Nasywa, diwawancarai oleh Deddy Corbuzier perihal kehidupann pribadi Desi Ratna Sari yang saat ini sedang menyandang status janda. Deddy menanyakan bagaimana perasaan Nasywa melihat kedekatan Desy dengan seorang pria yang dekat dengan mamanya. Tampak dalam program tersebut Nasywa dengan leluasa mendengar percakapan Desy dan Deddy yang belum pantas diperdengarkan untuk anak seusia Nasywa.

Pelanggaran UU Peyiaran 32/2002 Pasal 51 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran

Ayat 2: Semua lembaga penyiaran wajib mentaati keputusan yang dikeluarkan oleh KPI berdasarkan pedoman perilaku penyiaran.

Pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran Pasal 38 tentang Anak dan Remaja sebagai Narasumber

Pasal 38.A: Dilarang mewawancarai anak dan remaja berusia di bawah umur 18 tahun, mengenai hal-hal di luar kapasitas mereka untuk menjawabnya, seperti: kematian, perceraian, perselingkuhan orangtua dan keluarga, serta kekuasaan yang menimbulkan dampak traumatik.

4. Program On The Spot Trans 7 (7 Kecelakaan diSebuah Pertunjukan)

Beberapa waktu yang lalu On The Spot Trans 7 menayangkan 7 Kecelakaan di Sebuah Pertunjukan tanpa adanya sensor. Lima dari tujuh peristiwa keelakaan tersebut ditayangkan dengan sangat jelas.

Pelanggaran UU Peyiaran 32/2002 Pasal 51 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran

Ayat 2: semua lembaga penyiaran wajib mentaati keputusan yang dikeluarkan oleh KPI berdasarkan pedoman perilaku penyiaran.

Pelanggaran Standar Program Siaran Pasal 26 Pelarangan Program Siaran Kekerasan

Ayat 3.A: Adegan kekerasan dan sadisme dilarang sebagai berikut: (a) menampilkan secara detil (big close up, medium close up, extreme More

Menjadi Jurnalis: Pendidikan Jurnalisme & Budaya Jurnalisme (Matakuliah Kapita Selekta Jurnalistik)

PENTING!
SILAHKAN COPY PASTE TULISAN INI, NAMUN SERTAKAN SUMBER LENGKAPNYA
(Penulis, Judul, URL, Waktu Akses)
JADILAH PELAJAR YANG BERTANGGUNG JAWAB DAN MENGHARGAI KARYA ORANG LAIN
SAY, NO TO PLAGIAT!

Tulisan ini merupakan ringkasan artikel yang berjudul “Becoming a Journalist: Journalism Education and Journalism Culture (Vol. 2),” yang ditulis oleh Simon Frith dan Peter Meech tahun 2007. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

Dalam abstraksinya, Frith dan Meech menyebutkan bahwa artikel ini melaporkan survei terhadap lulusan program jurnalistik di Skotlandia. Hasil survei tersebut, yakni:

1)      Gelar jurnalistik merupakan modal efektif untuk karir jurnalistik;

2)    Lulusan jurnalistik menyerap berita-ruang kultur tanpa kesulitan, sampai sebatas mendiskontokan nilai pelatihan “akademis” jurnalistik mereka.

Artikel ini berangkat dari fenomena di mana dalam 30 tahun terakhir telah terjadi transformasi cara pandang orang-orang muda di Inggris terhadap kewartawanan. Jurnalisme tidak hanya menjadi pekerjaan, namun  terjadi peningkatan yang stabil di bidang jurnalisme dalam hal kursus-kursus dan sejenisnya. Hal tersebut disambut skeptis oleh wartawan karena menurut meraka, universitas tidak cocok mempersiapkan pendatang baru ke realitas jurnalisme sebagai pekerjaan.

Dalam studi tahun 1992 terhadap pers Inggris: The Good, the Bad and Unacceptable, Firth dan Meech mengutip penelitian yang dilakukan oleh Raymond Snoddy. Snoddy menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara Inggris dan Amerika dalam cara pandang kedua negara ini terhadap jurnalisme. Amerika meletakkan jurnalistik secara serius. Satu alasan untuk ini, Snoddy menyatakan:

. . . sebagian besar wartawan Amerika masuk ke sekolah jurnalistik dan sebagai hasilnya, jurnalistik memiliki tradisi lebih akademis. Di Inggris, meskipun jumlah lulusan meningkat, banyak wartawan masih hanyut dalam pekerjaan dan menggabungkan pembelajaran ke dalam pekerjaan dengan pelatihan paruh waktu. (Snoddy, 1992: 153-4).

Artikel Frith dan Meech ini merupakan kontribusi penting untuk memahami profesi di mana jurnalisme digambarkan dan dibangun. Mereka fokus pada wartawan lulusan dari universitas dan pindah ke industri dan menyoroti bahwa:

“Not only has journalism become a graduate occupation but there has also been a steady increase in the number of university journalism courses and degrees.” (2007: 137).

“Jurnalisme tidak hanya menjadi pekerjaan para sarjana, tetapi telah terjadi peningkatan stabil dalam jumlah kursus jurnalistik universitas dan sederajat.” (2007: 137).

Frith dan Meech meringkas komentar dari tahun 1998 hingga 2003 dari edisi The Guardian Media Guide yang menggambarkan wacana dan hak istimewa job training: Sebagian wartawan lebih cenderung setuju dengan Roger Scruton yang mengatakan: Tidak ada yang benar-benar mau belajar kecuali dengan cara magang pada pekerjaan (2007: 140). Lebih luas, konteks universitas bahkan diabaikan secara definitif. Sikap industri lebih jauh digambarkan sebagai penguasa:

“Academics are not part of the ‘real world’ and that therefore journalism teaching in a university can’t possibly prepare people for what the occupation actually involves.” (2007: 140).

“Para akademisi bukan bagian dari dunia nyatadan pengajaran jurnalisme di sebuah universitas tidak mungkin dapat mempersiapkan orang untuk terlibat dalam pekerjaan yang sebenarnya.” (2007: 140).

Dalam penelitiannya, Frith dan Meech mendapat 50 responden (31 pria, 19 perempuan) untuk mengisi kuesioner. Dari jumlah tersebut, 29 orang telah lulus dengan gelar BA dari Departement Film dan Media Studies (FMS) Universitas Stirling; 28 orang telah memperoleh gelar Diploma  dari Scottish Centre for Journalism Studies (SCJ), dan 7 orang lulus FMS dan SCJS.

Ditinjau dari lapangan kerja wartawan dari kursus yang telah mereka lakukan, Frith dan Meech mencatat bahwa:

Few respondents, if any, expressed appreciation for the theoretical-critical units they had completed; none at all argued for more of these.” (2007: 152).

Beberapa responden, jika ada, mengungkapkan apresiasi untuk unit teoritis-critical yang telah mereka selesaikan; tidak semua berargumen lebih dari itu.” (2007: 152).

Frith dan Meech menyimpulkan bahwa lulusan jurnalistik puas dengan pilihan pekerjaan mereka, yang mana mereka menemukan tantangan namun bermanfaat. Siswa dengan gelar media dan ijazah pascasarjana yang relevan masuk pekerjaan dan relatif mudah untuk bangkit di dalamnya. Tidak ada responden dalam sampel mereka melaporkan telah diasingkan oleh lingkungan kerja mereka.

Students with media degrees and relevant postgraduate diplomas enter the occupation and rise within it relatively easily.” (2007: 157).

Namun, Frith dan Meech melihat bahwa wartawan tampaknya telah mengesampingkan aspek teoritis dari pendidikan tinggi mereka, karena pelatihan kerja mendorong pengembangan keterampilan dan praktek penting untuk menyelesaikan ‘pekerjaan’ mereka. Tak satu pun dari responden menyatakan bahwa pendidikan sarjana atau pascasarjana telah membuat setiap kontribusi mereka sukses.

“We found no evidence whatsoever that graduate journalists brought anything of the critical ‘media studies’ approach to their activities; their accounts of the value and meaning of journalism replicated those of journalism tradition.” (2007: 158).

Kami tidak menemukan bukti apapun bahwa lulusan jurnalistik membawa apa saja dari pendekatan kritis studi media untuk kegiatan mereka; accounts mereka dari nilai dan makna dari jurnalisme direplikasi dari tradisi jurnalisme.” (2007: 158).

Dalam kesimpulan akhirnya, Frith dan Meech menyatakan bahwa jurnalisme Inggris akan berubah menjadi pekerjaan para pascasarjana, meskipun perubahan tersebut belum begitu jelas.

Our conclusion is that British journalism will be changed by becoming a graduate occupation, even if the nature of those changes is not yet clear.” (2007: 159).[]

__________________________

Frith, S. and Meech, P. (2007). Becoming a Journalist: Journalism Education and Journalism Culture,Vol. 8 (2): 137-164. Sage Publication.

Kekuatan Film Romantis

Kalau ada yang bilang film bergenre romantis itu adalah film cengeng, membosankan, filmnya cewek, dan hal yang berbau skeptis lainnya, pikir-pikir dulu deh. Don’t judge something without a “clever” reasons.
Well, yang namanya film romantis pasti berhubungan erat dengan kisah percintaan. Film romantis banyak yang mempengaruhi perasaan, apabila film itu dihayati dengan sungguh-sungguh. Nggak bisa dipungkiri, film romantis itu banyak diisi dengan adegan kissing, hugging, atau bahkan fucking. BUT, please jangan lihat dari sisi itu.
Nah, mengapa saya membela genre film yang satu ini? Sorry buat yang nggak suka atau bahkan membenci film romance, tapi bagi saya film tersebut banyak memberilan saya pelajaran. Tentunya tentang cinta.
Nggak usah dimunafikkan bahwa persoalan cinta sering membuat orang-orang kelimpingan. Begitu juga dengan saya. Nah, dari film romance saya dapat mengambil pelajaran berharga. Baik dari dialog antar tokoh atau bahkan dari alur ceritanya sendiri.
Walau hanya fiktif, tapi saya dapat gambaran bagaimana mencintai seseorang dengan tulus hingga akhir hayat, padahal pernah berpisah bertahun-tahun lamanya, seperti di film The Notebook atau One Day. Bagaimana cintanya seorang lelaki kepada seorang wanita hingga untuk bertemu pun dia enggan, bahkan rela wanita itu menyukai pria lain, seperti di film Daisi.
Ada juga yang berawal dari sex friend lantas saling memiliki komitmen untuk menjalin hubungan dengan lebih serius seperti di film Friends with Benefits. Tak peduli istrinya sakit apa tapi sebagai suami ia tetap menyayanginya dengan tulus, seperti di film A Moment to Remember. Bagaimana seorang wanita mencari cinta terakhirnya padahal si Mr. Right ada didekatnya namun namun dia tidak menyadarinya, seperti di film Whats Your Number. Bagaimana seorang wanita begitu pengertian terhadap pacarnya yang sibuk dan sang pacar baru menyadari sakitnya lehilangan setelah mendapat mimpi buruk, seperti di film If Only. Dan masih banyak lagi..
Semua itu saya pelajari dari film romance. Ada yang tertarik? Kuncinya, coba hanyati pesan apa yang ingin disampaikan oleh film itu. Jangan hanya menonton sebagai hiburan saja. Tapi, sebagai pelajaran juga. Yah, sekali lagi, walau hanya fiktif, setidaknya kita dapat mengambil nilai positif dari film itu. Apalagi kisah-kisah di film romans cukup dekat dengan dengan keseharian kita. Beda dengan film action atau bahkan horror yang cenderung lebih banyak imajinasi dan kekerasan.
So, think about that![]

©dilanovia 10052012 12:20 ツ

Sisi Kreatif dan Strategi Pesan

PENTING!
SILAHKAN COPY PASTE TULISAN INI, NAMUN SERTAKAN SUMBER LENGKAPNYA
(Penulis, Judul, URL, Waktu Akses)
JADILAH PELAJAR YANG BERTANGGUNG JAWAB DAN MENGHARGAI KARYA ORANG LAIN
SAY, NO TO PLAGIAT!

Sisi Kreatif dan Strategi Pesan

Oleh: Novia Faradila

Advertaising yang efektif merupakan produk dari logika dan kreatifitas. Sebuah iklan menerjemahkan logika perencanaan keputusan ke dalam ide kreatif yang orisinal. Menurut Jewler dan Drewniany, sebuah iklan yang kreatif harus menciptakan koneksi yang relevan dengan audiensnya dan menyajikan ide-ide yang menjual secara tak terduga.  Hal tersebut mendukung prinsip bahwa advertising merupakan gabungan dari sains—cara pesan didesain agar persuasif, dan seni—menyajikan ide-ide orisinal dengan cara baru.

Paper berjudul Sisi Kreatif dan Strategi Pesan ini memaparkan empat poin pembahasan: Perencanaan Pesan, Strategi Pesan, Konsep Kreatif, dan Mengelola Strategi Kreatif. Penulis akan memaparkan poin tersebut satu per satu. Semoga paper ini bermanfaat bagi pembaca.

  1. Perencanaan Pesan

Seni dan sains advertising terpadu dalam frasa strategi kreatif. Ide iklan harus kreatif (orisinal, berbeda, baru, tak terduga) dan strategis (tepat untuk produk dan sasaran, memenuhi tujuan). Pembuat iklan membedakan antara strategi kreatif dan eksekusi kreatif. Strategi kreatif merupakan apa yang iklan, sedangkan eksekusi adalah bagaimana menyatakannya.

1.1  Pedoman Kreatif

Strategi kreatif dan pelaksanaannya dipaparkan dalam sebuah dokumen yang disebut creative brief. Dokumen ini memberi pedoman arah kepada aggota tim saat mereka mencari konsep kreatif. Poin-poin utamanya yakni:

a.      Problem yang dapat dipecahkan oleh komunikasi.
b.      Audiensi sasaran dan pendapat tentang sikap dan perilaku.
c.       Posisi brand dan keputusan branding lainnya seperti personalitas dan citra.
d.      Tujuan komunikasi yang menyebutkan respon yang diinginkan audien.
e.       Usulan dan penjualan ide yang memotivasi target.
f.       Konsiderasi media tentang di mana dan kapan akan disampaikan
g.      Arah kreatif yang memberi saran bagaimana menstimulasi respon audiens.

1.2  Tujuan Pesan

Beberapa tujuan advertising umumnya berkaitan dengan segi efektivitas, seperti:

a.      Melihat/mendengar—menciptakan perhatian, kesadaran, minat, pengenalan.
b.      Merasakan—menyentuh emosi, menciptakan perasaan.
c.       Berpikir/belajar—memberi informasi, membantu memahami, membangkitkan ingatan
d.      Percaya—mengubah sikap, menciptakan keyakinan.
e.       Menghubungkan—membangun identitas brand dan asosiasi brand, mengubah produk dengan personalitas dan citra tersendiri.
f.       Tindakan—menstimulasi percobaan, pembelian, pembelian ulang, dan tindakan lain.

1.3  Targeting

Dalam startegi pesan, menentukan target pasar (targeting) sangat penting demi suksesnya sebuah iklan. Menentukan terget dalam perencanaan strategi iklan dapat dilihat dari segi umur, demografi, gender, life style, atau pendidikan. Contohnya iklan operator, IM3. Target market IM3 adalah anak remaja yang berusia 13-22 tahun. Penekanan target ini dapat dilihat dari konsep iklan yang segar dan diperankan oleh pemain iklan remaja.

1.4  Branding

Posisi brand dan citra brand diciptakan melalui strategi pesan dan eksekusi advertising. Brand yang baik memiliki ciri-ciri seperti brand tersebut terlihat dan menonjol di pasar, konsumen menyadarinya, dan brand itu penting bagi pasar sasarannya.

2. Strategi Pesan

2.1  Pendekatan Strategi Kreatif

Dalam tulisan ini penulis memaparkan dua pendekatan strategi kreatiif, yakni pendekatan Charles Frazer dan Ron Taylor. Berikut enam strategi kreatif Charles Frazer.

Strategi

Deskripsi

Penggunaan

Pencegahan Menggunakan atribut umum atau keunggulan umum, namun brand-nya diutamakan—memaksa pesaing untuk mengikuti posisi kita. Digunakan untuk kategori dengan diferensiasi kecil atau produk baru
Unique Selling Proposition Menggunakan ciri yang khas dalam atribut yang menciptkaan manfaat yang bermakna bagi konsumen Digunakan  untuk kategori dengan level teknologi yang maju dan mengandung inovasi
Brand Image Menggunakan image superioritas atau keunggulan berdasarkan faktor-faktor ekstrinsik seperti perbedaan psikologis dalam benak konsumen Digunakan dengan barang yang homogen, berteknologi biasa, dengan sedikit diferensiasi.
Positioning Menempatkan diri di benak konsumen Digunakan pendatang baru atau brand kecil yang ingin menantang pemimpin pasar.
Resonance Menggunakan situasi, gaya hidup, dan emosi yang dapat diidentifikasi oleh sasaran. Diguankan dalam produk yang tak terdiferensiasikan dan sangat kompetitif.
Affectiviel Anomalous Menggunakan pesan emosional, bahkan terkadang ambigu untuk mengatasi ketidakpastian. Diguanakn ketika pesaing bermain langsung dan informatif

Sementara itu Ron Taylor mengembangkan model yang membagi strategi ke dalam dua pandagan yang masing-masing terbagi dalam tiga segmen yakni (1) Transmisi: Rational, Acute Need, dan Routine, (2) Ritual: Ego, Sosial, dan Indra. Ia juga mengidentifikasikan pesan yang tepat untuk masing-masing segmen berkaitan dengan kategori produk teretntu.

2.2  Format dan Formula Strategi

Dalam poin ini, format dan formula strategi mencakup tentang pengajaran dan drama dalam advertising, strategi penjualan, dan formula pesan.

a.      Pengajaran dan DramaPengajaran merupakan instruksi serius yang diberikan secara verbal. Pembicara memberikan bukti-bukti untuk meyakinkan audiens. Keunggulan pengajaran di antara relatif lebih murah dan kompak serta efisien. Pengajar dapat memberikan selling point dalam hitungan detik. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh juru bicara dari kalangan selebritas atau pihak otoritattif, seperti dokter atau ilmuan.

Drama menyerahkan pemirsa untuk mengambil kesimpulan sendiri. melalui drama pengiklan menceritakan More

Previous Older Entries