Pro Kontra Pakaian Bekas

Pro kontra pakaian bekas sudah menjadi topik yang berulang kali dibahas. Pemerintah melarang peredaran pakaian bekas dengan alasan merusak pasar dalam negeri. Sementara, masyarakat penyuka pakaian bekas beralasan bahwa kualitas pakaian bekas jauh di atas kualitas pakaian baru “made in Indonesia”. Harga pakaian bekas pun worth to buy.

Jujur, dulu saya penyuka barang bekas, baik itu pakaian, tas, atau sepatu. Bahkan, jika saya sedang berada di kota tertentu, saya selalu menyempatkan diri menelusuri pasar pakaian bekas di kota itu. Seperti pasar pakaian bekas di Pasar Atas Bukittinggi, monja di Medan, toko-toko pakaian bekas di Yogyakarta, lapak-lapak pakaian bekas di Pasar Senen, Jakarta, bahkan waktu ke Kuala Lumpur pun saya sempat window shopping di lapak pakaian bekas di sana (saya lupa nama areanya). Kalau di Pekanbaru, nggak perlu ditanyakan lagi. Gue sampai hafal sudut-sudut Pasar Kodim. Hehehe…

Teman-teman di kampus pun mengetahui kalau saya suka beli baju PJ (istilah baju bekas di Pasar Kodim). Malu? Nggak, saya ngga malu. Bahkan mereka ikut terpengaruh beli baju PJ juga haha… I hope it doesn’t have a bad influence on you guys 😀

Pas lagi bahas Frugal Living. Inget aja nih kakak senior! Hehe…

Sewaktu aktif menjadi wartawan kampus, tim redaksi mempercayakan saya dan beberapa orang lainnya mengangkat masalah pro kontra pakaian bekas. Kami liputan ke Pasar Kodim bahkan sampai mewawancarai pihak Disperindag Provinsi Riau. Kalau tidak salah itu di tahun 2010/2011an. Nah, sekarang tahun 2023 masalah ini belum juga kelar. Ckckck…

In my humble opinion nih yaa… permasalahan pakaian bekas memang nggak bakalan kelar kalau apa yang menjadi andalan pada pakaian bekas tidak dipenuhi oleh produk lokal. Apakah itu? Pertama, kualitas yang bagus; kedua, harga yang terjangkau. Pada kenyataannya, produk lokal dengan kualitas bagus, harganya mahal. Sebaliknya, produk lokal dengan harga murah memiliki kualitas yang rendah.

Ada satu hal yang sangat menarik bagi saya. Larangan impor pakaian bekas yang ditetapkan oleh Presiden malah diiringi dengan tingginya impor pakaian baru dari China yang kualitasnya hmmm…bad. Nah, kalau seperti ini, yah sama saja, sama-sama mematikan produk lokal.

Yang jelas pedagang pakaian bekas akhir-akhir ini memang menjamur sih. Dulu di Pekanbaru hanya terpusat di Pasar Kodim saja. Kalau sekarang udah dimana-mana. Di pinggiran jalan pun banyak, terutama lapak baju dan sepatu. Istilahnya sekarang bukan PJ lagi, tapi thrift market (semakin keren aja namanya).

I’m curious, meskipun pedagang pakaian bekas semakin banyak, pembeli pun juga makin banyak. Apakah memang ini pertanda daya beli atau minat masyarakat terhadap pakaian baru buatan dalam negeri semakin rendah? Idk…

Anyway, sekarang saya sudah nggak pernah dan udah lama banget nggak beli pakaian bekas. Mengapa? Karena pakaian bekas nggak ada yang syar’i hehehe… But I’m still interested in used goods, especially tools and home decorations. You know kan, barang-barang jadul yang adaaa aja nilai estetiknya. I hope one day I can visit the “thrift market” in Batam or Tanjung Pinang.[]

❤️ Dila

Leave a comment