Berapa Sih Pengeluaran Selama Proses Proposal Hingga Skripsi? Ini Hitung-Hitungannya

image

Skripsi atau tugas akhir merupakan “amanah” dan kewajiban yang harus dikerjakan oleh mahasiswa di akhir studinya. Rata-rata mahasiswa tingkat akhir merasa stress ketika mengerjakan tugas tersebut. Baik dalam proses penulisan, maupun biaya yang dikeluarkan selama proses penelitian.

Nah, berawal dari keisengan saya mengumpulkan invoice berbagai pengeluaran selama proses pembuatan proposal hingga sidang skripsi, saya ingin sedikit sharing ke kamu semua berbagai pengeluaran selama proses tersebut. Semoga kamu mendapatkan gambaran biaya yang harus dikeluarkan untuk mencapai gelar S1 yang kamu dambakan.

Daftar ujian proposal: 350rb
Konsumsi ujian proposal: 100rb
Daftar ujian skripsi: 550rb
Konsumsi ujian skripsi: 400rb (buah, include nasi kotak)
Kartu bebas pustaka fakultas: 15rb
Kartu bebas pustaka universitas: 20rb
Foto studio (pakai blezer): 24rb (include pas foto 3×4 B/W 4 lembar, 3×4 color 8 lembar)
Foto studio (pakai toga): 20rb (include pas foto 2×3 color 4 lembar, 3×4 color 4 lembar
Kertas 4 Rim: 104 rb
Map jepit @4: 20rb
Tinta printer (black): 55rb (data print)
CD publikasi jurnal + kotak CD + cover @2: 14rb (CD-nya diburning sendiri, kalau diburningkan mungkin harga beda lagi)
CD skripsi + kotak CD + Cover @1: 10rb (CD-nya diburning sendiri)
CD untuk jurusan @2: 4rb
Map kuning @4: 10rb
Jilid skripsi @4: 80rb
Kenang-kenangan untuk pembimbing: 30rb (personal initiative, made by me) 😀

Jadi, total biaya yang harus dikeluarkan sekira Rp1.806.000,-
Pengeluaran setiap mahasiswa berbeda-beda. Tergantung kebutuhan dan kemampuan masing-masing.

Ini masih pengeluaran yang tergolong “tampak”. Belum termasuk biaya-biaya lain seperti biaya bensin ketika penelitian, biaya untuk pihak-pihak tertentu (mungkin ada yang meminta bantuan men-translate abstrak ke bahasa Igggris, menghitung dengan SPSS, dll), atau biaya foto copy berkas-berkas untuk syarat ujian yang (ehem…) lumayan banyak. Bagi yang tidak memiliki printer, mungkin pengeluaran bisa lebih besar lagi.

Sekian informasi dari saya. Semoga bermanfaat and good luck. xoxo.[]

©dilanovia 23062013 10:37

*This article really made for sharing, there is no intent or other interests.

Kabut Asap, Antara Ulah Manusia dan Bumi yang Menua

image

Jam dinding menunjukkan pukul 1 kurang 5 menit, dini hari. Mata saya tidak bisa terpejam sedikit pun. Padahal pagi ini ada kegiatan penting yang akan saya ikuti.
Sebenarnya bukan masalah susah tidur yang ingin saya keluhkan di tulisan ini. Tapi, asap. Ya, kabut asap. Asap yang mewarnai langit kota Pekanbaru bahkan Riau pada umumnya. Asap yang mencampuri udara yang telah kotor menjadi semakin kotor.
Awalnya pengaruh kabut asap ini tidak terlalu saya risaukan. Padahal, beberapa orang teman saya mengaku sangat terganggu dengan kabut asap ini. Ntah mengapa ketika mereka mengatakan bahwa di rumah mereka telah dipenuhi asap, anehnya di daerah tempat tinggal saya aman-aman saja.
Ya, itu kemarin. Tapi malam ini, saya merasakan apa yang mereka rasakan. Susah tidur dan ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil membuat saya harus beranjak dari kamar menuju ujung rumah di mana kamar mandi saya berada. Seketika itu, saya melihat dapur saya sudah di penuhi asap.  Penasaran dengan apa yang terjadi, saya mendongakkan kepala ke luar dan ternyata kabut asap sudah berarak hingga ke daerah tempat tinggal saya. “Selamat datang, asap”, kalimat itu yang terlintas di pikiran saya.
Peristiwa kabut asap di Riau memang menjadi bahan perbincangan di berbagai media massa lokal bahkan nasional. Negara tetangga pun merasakan dampak kabut asap ini. Malaysia dan Singapura juga terkena kabut asap yang berasal dari Sumatera, Indonesia.
Berbagai penyebab mengapa kabut asap itu eksis akhir-akhir ini menggelayut di kepala saya. Tapi saya tidak tahu persis apa penyebab sebenarnya. Apakah karena ulah tangan jahil manusia? Atau karena bumi ini sudah semakin tua? Ntahlah, saudara-saudara.[]

©dilanovia 22062013 01:09

Pentingnya Kecerdasan (ber)Media

literasi media

Literasi media (media literacy) mungkin baru-baru ini terdengar ramai diperbincangkan. Padahal, literasi media telah lama menggema di berbagai negara. Hal ini mengingat pentingnya kesadaran masyarakat sebagai sasaran media untuk cerdas menilai “produk” yang disuguhkan media.

Saat ini literasi media diartikan sebagai kemampuan memahami symbol-simbol tertulis secara efisien dan efektif serta konfrehensif. Melalui perkembangan media noncetak dan lahirnya media elektronik, maka kemampuan itu tidak bermana literasi lagi, tetapi menjadi media literacy atau literasi media (kecerdasan bermedia).

Banyak yang mengatakan bahwa saat ini masyarakat telah cerdas memilah dan memilih apa yang hendak mereka konsumsi dari media. Namun, perkembangan kecerdasan masyarakat juga diikuti oleh kecerdasan media dalam menyuguhkan informasi-informasi tertentu kepada msyarakat. Walau dikatakan masyarakat sudah cerdas, namun masih banyak juga masyarakat yang percaya begitu saja dengan isi media.

Ciri khas media di Indonesia saat ini yang paling terlihat fulgar adalah adanya boncengan politik di dalam tubuh media itu sendiri. Pimpinan partai A adalah pemilik media A, pimpinan partai B adalah pemilik media B. Bahkan, ironisnya salah satu media—sebut saja Si Biru—menambahkan satu divisi lagi  ke dalam media tersebut. Divisi itu adalah divisi partai yang dimiliki oleh pemilik media dengan orang yang sama.

Apa boleh buat. Keuasaan dan kewenangan tampaknya saat ini dimiliki oleh orang-orang yang berduit. Para pekerja media pun walau mereka sadar, mereka hanya bisa pasrah. Hal ini yang saya dengar langsung dari salah seorang presenter media yang namanya sudah cukup popular di telinga masyarakat. Presenter yang bisa saya katakana senior itu saja mengakui, bahwa prakti media sebagai penyampai informasi saat ini telah ternodai dengan adanya boncengan politik dan berbagai kepentingan individu dan kelompok. Ya, apa boleh buat?

Untuk itu, ketika peran media telah telah menyimpang dari peran aslinya, ketika para pekerja media hanya tunduk dengan atasannya, ketika pegiat media hanya bisa pasrah dengan perannya sebagai “pekerja”, masyarakatlah yang harus cerdas mengamati isi media.

Kecerdasan masyarakat sangat penting karena masyarakatlah yang menjadi sasaran utama media dan orang-orang yang ada di belakangnya. Masyarakat harus mampu dan harus memiliki kesadaran untuk membuat kemajuan dalam memahami isi media. Masyarakat juga harus cerdas memperhatikan dan menyaring informasi, memiliki daya pikir kritis terhadap pesan media.

Kecerdasan bermedia dapat menciptakan masyarakat yang literat yang merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima, sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.

Intinya, kecerdasan bermedia merupakan salah satu upaya menangkap dampak negatif media massa, karena adanya kecerdasan memampukan khalayak media untuk mengevaluasi dan berpikir kritis terhadap pesan media. Dahulu masyarakat diajarkan untuk tidak “buta huruf”, namun saat ini pengajaran tersebut telah bergeser sehingga masyarakat dituntut untuk tidak “buta media”.[]

©dilanovia 19062013 13:38

Sejarah Literasi Media

media literacy

Sejarah literasi media dimulai tahun 1964 saat UNESCO mengembangkan prototype model program pendidikan media yang hendak diterapkan di seluruh dunia. Pada waktu itu, baru dua Negara yang menaruh perhatian pada literasi media, yakni Inggris dan Australia. Kalangan pendidik di dua Negara itu menyarankan pelaksanaan pendidikan untuk mencapai literasi media, “agar anak-anak remaja secara kritis melihat dan membedakan apa yang baik dan apa yang buruk dalam media.

Pada tahun 1970-an, pendidikan media masuk ke dalam kurikulum di sekolah menengah di Negara-negara di Eropa dan Amerika Latin untuk membantu menghapuskan kesenjagan social akibat ketidaksetaraan akses terhadap informasi, dan juga di Afrika Selatan yang menyelenggarakan pendidikan media untuk mendorong reformasi pendidikan.

Pada tahun 1970-an dan 1980-an di Negara-negara Amerika Latin, literasi media pada awalnya hanya mendapat perhatian dari kalangan LSM dan tokoh-tokoh masyarakat. Literasi media pada masa itu lebih dipandang sebagai persoalan politik dan bukan persoalan pendidikan. Literasi media digunakan oleh guru di sekolah dan tokoh masyarakat di tengah masyarakat. Sedangkan di Eropa, literasi media dikembangkan melalui pendidikan persekolahan dan pendidikan luar sekolah.

Di negara Amerika Serikat, perhatian besart terhadap literasi media baru diberikan sejak tahun 1990, setelah diselenggarakan “National Conference Leadership on Media Education”. Setelah itu, ada 15 negara bagian yang memasukkan literasi media ke dalam kurikulum sekolah.

Intinya, literasi media merupakan salah satu upaya menangkap dampak negatif media massa, karena literasi media memampukan khalayak media untuk mengevaluasi dan berpikir kritis terhadap pesan media.

Bacaan rujukan: Iriantara, Yosal. 2006. Model Pelatihan Literasi Media untuk Pembelajaran Khalayak Media Massa.” Disertasi Doktor. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

©dilanovia 19062013 13:01

Di Balik Status Bayangan Manusia

“Apa cita-citamu?”
Kalimat itu sering kali kita dengar, bahkan sejak kita duduk di bangku sekolah dasar. Kala itu jawaban yang mungkin sering mengalir dari mulut seorang bocah SD adalah “saya ingin menjadi dokter”, “saya ingin menjadi polisi”, “saya ingin menjadi presiden”.

Pertanyaan yang sama muncul lagi ketika kita mulai beranjak dewasa. Ada yang bertahan dengan cita-cita semasa kecilnya, ada pula yang telah berubah sesuai perkembangan minat dan bakat masing-masing. Namun, pertanyaan tersebut tidak hanya sebatas kalimat, “apa cita-citamu?”, tapi telah diiringin dengan, “bagaimana caramu untuk meraih cita-cita itu?”

Jika ada yang bercita-cita menjadi dokter, dia akan menjawab berbagai persiapan yang sedang atau akan dia lakukan untuk meraih gelar dokter. Berawal dari kesenangan dengan pelajaran biologi, mempersiapkan uang yang cukup untuk kuliah, mengambil jurusan kedokteran di salah satu universitas ternama, melanjutkan studi ke luar negeri, hingga ‘calon dokter’ pun hampir melekat di dirinya.

Begitu pula dengan cita-cita yang lain. Manusia akan berusaha meraih cita-cita mereka sekuat tenaga. Ketika apa yang diusahakan tersebut hampir tiba di garis finish, betapa senangnya hati memikirkan dirinya akan menjadi calon polisi, calon insinyur, calon dokter, calon guru, calon wartawan, dan berbagai pekerjaan menarik lainnya.

Namun, mungkin semangat muda tersebut banyak yang membuat kita lupa. Lupa bahwa sejatinya kita hidup di dunia hanya sementara. Sudahkan kita telah mempersiapkan bekal untuk status kita yang lebih pasti, dibandingkan dengan status bayangan sebagai “calon dokter”, “calon guru”, atau “calon gubernur” sekalipun yang tentunya itu belum pasti karena semua ada di tangan yang Maha Kuasa.

Manusia yang masih hidup, dalam hidupnya sudah memiliki status yang pasti, yakni sebagai “calon mayat”. Manusia yang hidup di muka bumi adalah calon mayat yang akan mengarungi kehidupan kekal di akhirat. Di sana tak dikenal yang namanya dokter, polisi, guru, atau bahkan presiden atau raja. Manusia pada saat itu sama, hanya kualitas iman yang membedakannya.

“Calon mayat”, kata-kata itu mungkin terdengar ngeri, tapi status itu pasti. Jadi, sudahkah kita mempersiapkan diri untuk itu? Jawabannya hanya ada di diri kita masing-masing.[]

©dilanovia 19062013 00.17

image

Previous Older Entries