Contoh Esai untuk Syarat Pascasarjana UGM Jurusan Ilmu Komunikasi

Media Sosial: Ketika Remaja Tak Lagi Memiliki Satu “Muka”

Oleh: Novia Faradila, S.I.Kom

Sebagai “manusia digital” yang lahir dan dibesarkan di era komputerisasi dan komunikasi online, Prensky (dalam Herring, 2014) mengidentifikasikan remaja—orang muda antara usia 13-19 tahun—sebagai generasi pengguna internet tertinggi sejak akhir 1990-an. Remaja zaman kini dimanjakan dengan kemudahan berkomunikasi, memperoleh informasi, berbagi konten, serta menuliskan pendapat mereka melalui fasilitas internet. Dunia pun bagaikan dalam genggaman, semua bisa dijamah dalam sebuah layar hanya dengan ujung jari. Perlahan namun pasti, internet telah menjadi bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan remaja. Internet menjadi lumrah seperti halnya surat kabar, televisi, buku catatan, sistem surat, mesin fotokopi, mesin fax, mesin penjawab, party line (jaringan telepon komunitas), radio CB, kelompok pendukung, pusat komunitas, layanan direktori, ensiklopedia, dan perpustakaan yang telah digantikan olehnya (Berger et al., 2014).

Survei terbaru di Amerika Serikat menemukan, 95% remaja AS yang berusia 12-17 tahun terhubung dengan internet, di mana 80% dari mereka memiliki profil di situs media sosial. Hal ini berbanding cukup jauh dengan orang dewasa AS di mana hanya 78% yang terhubung internet dan 64% dari mereka berusia 30 tahun ke atas (Herring dan Kapidzic, 2014). Sementara itu, berdasarkan data yang dilansir dari suaramerdeka.com (21 Agustus 2013) riset yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN) bersama Yahoo! mengenai penggunaan internet di kalangan remaja menunjukkan, remaja berusia 15-19 tahun mendominasi pengguna internet di Indonesia sebanyak 64%. Penggunaan internet secara massif tersebut memposisikan internet sebagai ikon baru dalam kehidupan manusia. Melalui penggunaan Computer Mediated Communication (CMC), peran komunikasi interpersonal melalui praktik face to face communication sedikit demi sedikit mulai tergantikan oleh penggunaan komputer sebagai mediator komunikasi (Pavlik dalam Sukarno, 2012).

Media sosial merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari kekuatan internet dan sukses menghadirkan tren baru dalam proses komunikasi. Kemudahan yang dihadirkan media sosial menjadi faktor penting eksisnya media ini. Tidak butuh waktu lama bagi seseorang dalam membuat akun. Media sosial pun mampu mengajak siapa saja yang tertarik untuk berpartisipasi dengan memberi feedback secara terbuka, memberi komentar, serta berbagi informasi dalam waktu yang cepat dan tak terbatas. Setiap orang bagaikan bisa memiliki media sendiri tanpa batas ruang dan waktu. Jika media seperti televisi, radio, atau koran dibutuhkan modal besar dan awak yang banyak dalam mengoperasikannya, maka media sosial cukup diakses melalui jaringan internet dan dapat dilakukan sendiri dengan mudah.

Sejak kemunculannya media sosial telah menjadi primadona di kalangan remaja. Meroketnya penggunaan media sosial pada kelompok usia ini pun tidak terlepas dari perkembangan teknologi komunikasi seperti smartphone. Tak heran jika generasi muda sekarang begitu identik dengan “telepon pintar” yang hampir 24 jam berada di genggaman tangan mereka. Kecanggihan teknologi mampu menjembatani remaja ke dunia virtual yang luas dan tanpa batas. Mereka tidak pernah lepas dari gadget. Hidupnya sangat tergantung pada ponsel Android, BlackBerry, iPad, maupun tablet. Setiap hari mereka selalu disuguhi beragam media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, Instagram, BBM, Foursquare, Path, dan sebagainya. Masing-masing media sosial pun mempunyai keunggulan khusus dan menawarkan banyak kemudahan yang membuat para remaja candu berselancar di dalamnya.

Riset dari The Kaiser Familly Foundation pada tahun 2010 menyebutkan, rata-rata remaja menghabiskan sebelas jam untuk melakukan berbagai aktivitas di dunia maya. Dalam studi tersebut satu jam menonton video sekaligus SMS akan dihitung sebagai dua jam dari konsumsi media. Sedangkan survei dari Ipsos Mobility menunjukan bahwa pada hari-hari sekolah remaja menghabiskan lima jam dalam sehari hanya untuk smartphone, seperti jejaring sosial, bermain game, dan menonton video.

Berdasarkan riset tersebut terlihat bahwa kehidupan remaja dalam bersosialisasi telah diwarnai oleh media sosial. Pusat interaksi kini terletak pada media sosial karena mampu menghapus keterikatan fisik, jarak, dan waktu. Bahkan teknologi seperti video chatting telah mereplikasi komunikasi tatap muka tanpa batas ruang (Meyrowitz dalam Arymami, 2012). Begitulah kira-kira realitas remaja pada era ini. Di sisi lain, masa remaja merupakan masa yang menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan, bahkan sering tergolong labil. “Tsunami” media sosial mampu menggoncang realitas kepribadian remaja yang membuat mereka eksis di dalamnya. Hal tersebut secara tidak langsung membuat media sosial dengan mudah melahirkan “remaja baru” bahkan di luar kesadaran mereka.

Sebagai mana yang dilansir dalam situs Psychology Today pada artikel yang berjudul 4 Things Teens Want and Need Social Media (25 Juni 2013) terdapat empat hal yang membuat remaja eksis di media sosial. Pertama, remaja eksis karena ingin mendapatkan perhatian. Sebagian besar remaja berbagi informasi di media sosial dan hal tersebut menjadi kunci bagi mereka untuk mendapatkan perhatian bagi diri mereka sendiri. Remaja seringkali mengeluhkan tentang oversharing yang dilakukan pengguna media sosial lain. Padahal, mereka sendiri juga terjebak di dalamnya. Mereka berbagi begitu banyak hal (bahkan yang bersifat pribadi) di media sosial. Lebih jelas dipaparkan, 92% use their real names and just about the same number post photos of themselves, 71% post the name of their school and town, more than half post their email, 84% post their interests, and 82% their birthdays.

Kedua, meminta pendapat. Remaja seringkali meminta pendapat dan persetujuan rekan-rekannya untuk memutuskan sesuatu. Itu wajar jika di dunia nyata. Namun, dengan adanya media sosial, mereka menjadi meminta pendapat untuk hal yang tidak penting. Contohnya, mereka akan semakin sering menggunggah foto untuk sekadar melihat bagaimana komentar rekan-rekannya. Semakin banyak pujian atau sekadar “Like” di Facebook akan membuat mereka merasa populer. Bahkan, mereka akan mengganti foto yang mendapatkan sedikit “Like”. Dengan kata lain, media sosial menjadi indikator kepopuleran meraka. Ada “intrinsic satisfaction” pada remaja jika mereka populer di media sosial.

Ketiga, menumbuhkan citra. Media sosial tidak akan mampu mendeskripsikan pribadi seorang pengguna secara utuh. Oleh sebab itu, remaja menjadikan media sosial sebagai penumbuh citra positif mereka. Remaja akan cenderung memberikan kesan yang baik saat di media sosial. Mereka berharap orang lain melihat mereka seperti apa yang mereka harapkan. Keempat, kecanduan. Media sosial membuat remaja kecanduan. Mereka akan sulit mengalihkan pandangan dari situ. Remaja seolah “terjebak” dalam lingkaran drama media sosial. Meskipun mereka terus mengeluh tentang “drama” tersebut, kenyataannya mereka juga pelaku drama dalam media sosial.

Keintiman remaja dengan media sosial menjadikan mereka seolah-olah berada di sebuah panggung di mana mereka menjadi sutradara sekaligus aktornya. Panggung tersebut sering kali membuat mereka berbeda dengan realitas yang sebenarnya. Media sosial bagi remaja dijadikan sebagai ajang presentasi diri (self presentatiom). Para remaja menjelma menjadi hiperaktif di media sosial dan berusaha membangun citra positif agar diakui eksistensinya. Mereka sering pamer kegiatan sehari-hari (termasuk gaya berbusana, tempat hangout, makanan, bahkan foto speedometer kendaraan mereka) seakan menggambarkan gaya hidup sesuai dengan perkembangan zaman dan berharap mendapatkan popularitas di dunia maya. Sehingga Schlenker (dalam Herring, 2014) mengatakan, selfpresentation is generally considered to be motivated by a desire to make a favorable impression on others, or an impression that corresponds to one’s ideals. As such, self-presentation is centrally involved in impression management and the projection of an online identity.

Konten visual merupakan sumber daya utama untuk membuat kesan secara online (Ellison et al., dalam Herring, 2014). Contoh konkrit adalah ketika seorang remaja berada di jejaring sosial Facebook. Akun Facebook milik mereka sengaja dibuat agar mempunyai citra yang menarik untuk mewakili peran yang akan mereka mainkan. Saat mereka memposting status, komentar, dan foto, mereka sengaja membangun sebuah image yang menarik. Tak jarang juga mereka sering mengunggah foto yang menunjukkan sedang bersenang-senang dengan teman-temannya dan seolah memperlihatkan betapa bahagia diri mereka. Para remaja akan membuat segala macam cara untuk mempertahankan eksistensi diri mereka dalam lingkungannya. Mereka akan merasakan kebahagiaan tersendiri ketika orang lain dapat melihat image diri yang mereka bangun tersebut. Bahkan akan lebih bahagia lagi ketika ada teman atau pemilik akun lain yang merasa iri dengan image yang mereka tampilkan. Sama halnya dengan Twitter, remaja mempresentasikan diri mereka dengan mengunggah avatar yang paling bagus, memposting tweet atau me-retweet sebanyak-banyaknya dengan tujuan memperlihatkan eksistensi mereka di dunia maya.

Hal serupa juga terjadi di media sosial seperti Instagram. Bahkan, media sosial ini benar-benar memfasilitasi penggunanya untuk terus eksis melalui foto-foto yang diunggah. Seperti yang dilansir dalam situs tempo.co (27 Januari 2014) Instagram menjadi media sosial dengan peningkatan jumlah pengguna aktif terbesar dalam enam bulan terakhir. Jumlah pengguna aktif Instagram melonjak 23% dari 130 juta pengguna pada Juni 2013 menjadi 150 juta per bulan pada kuartal keempat tahun lalu.  Angka ini muncul berdasarkan survei lembaga GlobalWebIndex terhadap 170 ribu pengguna media sosial di 32 negara. Data terakhir, jumlah foto yang diunggah ke Instagram sudah mencapai 16 miliar. Setiap hari, 55 juta pengguna mengunggah fotonya. Sebuah situs marketing digital menyebutkan, pengguna Instagram sudah lebih dari 75 juta perhari. Setiap bulan rata-rata pengguna Instagram menghabiskan waktu kunjung selama 257 menit. Setiap hari jumlah orang yang memberi tanda “Like” mencapai 1,2 miliar.

Data tersebut menunjukkan bahwa eksistensi di media sosial semakin hari semakin menanjak naik. Ke-eksis-an tersebut telah menjadi fenomena kehidupan yang saat ini dipandang biasa dan seolah dapat dimaklumi. Sebuah pemandangan yang “wajar” di mana sekumpulan remaja sedang duduk di sebuah cafe namun mereka sibuk dengan gadget masing-masing tanpa menghiraukan teman di sebelah kanan dan kirinya. Atau pada sebuah pusat keramaian sekumpulan remaja dengan percaya diri berfoto bersama-sama menggunakan monopod atau yang lebih dikenal dengan “tongkat narsis” (tongsis). Sudah menjadi “hukum alam” apabila semakin aktif seorang remaja di media sosial maka mereka semakin dianggap keren dan gaul. Sebaliknya, kalangan remaja yang tidak mempunyai akun di media sosial biasanya dianggap cupu, kuno, ketinggalan zaman, dan kurang bergaul.

Tidak dapat dinafikan remaja begitu akrab dengan media sosial dan media sosial mampu menjawab kebutuhan generasi muda dalam mengekspos jati diri mereka. Namun, kebebasan dan kebablasan dalam penggunaannya menjadikan generasi ini over-confident. Bahkan majalah Time edisi 20 Mei 2013 menjuluki anak muda abad ini sebagai “The Me Me Me Generation”, yang bersifat malas, narsis, tapi masih bergantung pada orang tua. Stein, sang penulis lebih jauh memaparkan, each country’s millennials are different, but because of globalization, social media, the exporting of Western culture and the speed of change, millennials world wide are more similar to one another than to older generations within their nations…. And these aren’t just rich-kid problems: poor millennials have even higher rates of narcissism, materialism and technology addiction in their ghetto-fabulous lives.

Di tengah kepungan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, realitas para remaja telah hilang dan menguap. Kini mereka hidup di zaman simulasi di mana realitas tidak hanya diceritakan, dipresentasikan, dan disebarluaskan namun juga dapat direkayasa, dibuat, dan disimulasi. Baudrillard (dalam Fielder, 2008) memandang manusia terbiasa hidup dalam cermin fantasi, dalam diri yang terbagi, dan dalam alienasi. Baudrillard pun menyatakan, today we live in the imaginary world of the screen, of the interface and the reduplication of contiguity and networks. All of our machines are screens. We too have become screens, and the interactivity of men has become the interactivity of screens.

Penggunaan media sosial menimbulkan banyak perubahan, salah satunya pergeseran yang terjadi dalam kehidupan sosial remaja. Remaja terkoneksi dengan berbagai aplikasi media sosial yang membantu mereka berinteraksi dengan manusia lain yang bisa berjarak ribuan mil. Terkadang secara emosional mereka asik dengan individu yang belum pernah mereka temui secara pribadi. Namun, di saat yang sama mereka tanpa sadar membuat potensi kehadiran di lingkungan sosial mereka menipis dan membuat jarak dengan orang-orang yang dekat. Remaja akhirnya menjadi “alien” di lingkungan sosialnya sendiri karena sibuk dengan gadget masing-masing. Mereka terjebak dalam pencitraan di dunia virtual, baik dalam menciptakan citranya sendiri maupun dalam memandang manusia lain.

Remaja lebih mengedepankan seolah media sosial adalah alat interaksi yang utama. Media sosial dimanfaatkan remaja sebagai alat vital ketika ingin menemukan informasi baru, teman baru, bahkan untuk membangun dan mempertahankan relasi dengan orang lain. Dankin (2014) menyatakan, young people feel socially supported by having large networks of on-line friends they may never see. Berdasarkan pernyataan tersebut, tak heran jika banyak para remaja (khususnya perempuan) menjadi korban keganasan pihak yang tidak bertanggung jawab yang bermula dari perkenalan lewat jejaring sosial.

Media sosial membentuk remaja tak lagi memiliki satu “muka”. Kini mereka seolah memiliki kepribadian ganda saat menggunakan dan tidak menggunakannya. Media sosial bisa menjadi “zat adiktif” berbahaya bagi para remaja jika mereka berlarut-larut di dalamnya. Padahal, media sosial awalnya hanyalah supporting stuff dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan media sosial secara tepat dan konsekuen, serta bimbingan para orang tua sangat diperlukan karena remaja masih membutuhkan “dunia nyata” untuk bergaul bersama orang-orang “nyata” yang ada di sekitar mereka.[]

Referensi

Buku

Arymami, Dian. 2012. Saat Hati Terhubung Kabel Cinta, Romantika, dan Keintiman di Era Media Baru. Dalam Wisnu Martha Adiputra (Ed.) Media Baru Studi Teoretis & Telaah dari Perspektif Politik dan Sosiokultural. Yogyakarta: FISIPOL UGM. Hlm. 231.

Berger, C.R., Roloff M. E., Roskos D. R., 2014. Handbook Ilmu Komunikasi. Terj. Derta Sri Widowatie. Bandung: Nusa Media.

Sukarno, Adam W. 2012. Internet dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat Pedesaan. Dalam Wisnu Martha Adiputra (Ed.) Media Baru Studi Teoretis & Telaah dari Perspektif Politik dan Sosiokultural. Yogyakarta: FISIPOL UGM. Hlm. 187.

Jurnal/Artikel/Website

Dankin, Pauline. Social Media Affecting Teens’ Concepts Of Friendship, Intimacy. http://www.cbc.ca/news/health/social-media-affecting-teens-concepts-of-friendship-intimacy-1.2543158. Diakses 3 April 2014 pukul 15:28 WIB.

Fielder, Matthew. 2008. On The Accuracy of Fictions. http://www.real-fake.org/pdf/fieldertext.html. Diakses 3 April 2014 pukul 15:48 WIB.

Herring, S. C., Kapidzic, S., 2014. Teens, Gender, and Self-Presentation in Social Media. In J. D. Wright (Ed.), International Encyclopedia of Social and Behavioral Sciences, 2nd Edition. Oxford: Elsevier. http://ella.slis.indiana.edu/~herring/teens.gender.pdf. Diunduh 19 Maret 2014 pukul 20:19 WIB

Kirana, Elita. (21 Agustus 2013). Pengaruh Media Sosial bagi Remaja. http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/08/21/234195. Diakses 3 April 2014 pukul 15:18 WIB.

Streep, Peg. 4 Things Teens Want And Need Social Media. http://www.psychologytoday.com/blog/tech-support/201306/4-things-teens-want-and-need-social-media. Diakses 2 April 2014 pukul 14:18 WIB.

Stein, Joel. (20 Mei 2013). Millennials: The Me Me Me Generation. www.time.com/time/subscriber/printout/0,8816,2143001,00.html. Diunduh 21 Maret 2014 pukul 17:10 WIB.

TEMPO.CO. (27 Januari 2014). Pengguna Aktif Instagram Naik Pesat. http://www.tempo.co/read/news/2014/01/27/072548613/Pengguna-Aktif-Instagram-Naik-Pesat. Diakses 27 Maret 2014 pukul 16:54 WIB.

Leave a comment