The Election Day, Yay!!! 

Menjadi warga DKI Jakarta membuat saya ikutan merasakan berbagai “ritual” pemerintahannya. Contohnya pada hari ini.

Ini adalah hari dimana masyarakat DKI Jakarta kembali memberikan hak suara mereka pada Pilkada putaran kedua. Sebagaimana musim pilkada pada umumnya, hari saat pencoblosan akan diliburkan. Dan inilah yang saya rasakan. Nggak dapet nyoblosannya, tapi dapet liburnya.. Hehehe… 

Yah, lumayan, waktu yang free ini dapat saya habiskan untuk menunaikan hal-hal yang harusnya saya tunaikan dari jauh-jauh hari sebelumnya.

Perbaiki setrikaan yang rusak 😦 yang kalau beli baru juga sayang banget rasanya karena kerusakannya minor. Trus, belanja kebutuhan mingguan, yang minggu-minggu kemarin nggak sempat saya beli karena padatnya jadwal #uhuk. Dan lain-lain… Dan lain-lain…

Then, enaknya itu jalanan juga lancar jayahahaha.. Nggak macet, nggak sumpek, nggak padet. Busway juga ikut-ikutan lapang. Isinya nggak kaya ikan sarden yang rebutan saos tomat. Hehehe…

Lagi nunggu busway di Halte UNJ

Jalanan lancar jayalalalaa…

Andai Jakarta tiap hari kaya begini ~_~

Balada RUU Pilkada

image

Ini bukan masalah #ShameOnYouSBY, bukan masalah asu-asuan, bukan masalah siapa yang pengecut dan siapa yang bak pahlawan. Masyarakat Indonesia harusnya jangan latah atau sekedar ikut larut bersama arus informasi tentang RUU Pilkada tidak langsung. Apalagi asal posting komentar yang berisi caci-maki tanpa landasan yang jelas dan pasti.
Pro kontra pilkada langsung atau tidak langsung saat ini memang menjadi buah bibir. Terlepas dari parpol mana yang pro dan parpol mana yang kontra, walkoutnya partai Demokrat, atau bagaimana media mengkonstruksi berita terkait RUU Pilkada ini, masyarakat seharusnya bisa berpikir realistis tentang apa yang menjadi pilihan mereka.
Saya pribadi setuju dengan Pilkada tidak langsung ini. Mengapa? Jika selanjutnya Pilkada dipilih langsung oleh DPRD, bayangkan berapa banyak anggaran yang bisa dipangkas. Berapa besar dana tersebut bisa dialokasikan untuk pembangunan daerah yang bersangkutan.
Seperti yang dilansir dari Suara Pembaharuan, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mencatat, saat ini Indonesia memiliki 33 provinsi dan 492 kabupaten/kota yang harus melaksanakan pilkada untuk memilih kepala daerah masing-masing. Jika dihitung kasar dan tanpa Provinsi DI Yogyakarta yang tidak melaksanakan pemilihan gubernur, maka setiap lima tahun ada 525 pelaksanaan pilkada. Artinya, setiap empat hari digelar pilkada di tanah air ini.
Nah, berapa dana yang dihabiskan? Biaya peyelenggaraan satu pilkada kabupaten atau kota bisa mencapai Rp25 miliar. Sedangkan, biaya penyelenggaraan pilkada provinsi bisa mencapai Rp100 miliar. Jadi, untuk keseluruhan biaya pilkada yang dikeluarkan pemerintah bisa mencapai Rp17 triliun.
Betapa mahalnya biaya politik untuk pilkada langsung selama ini? Padahal di berbagai sudut di tanah air ini masyarakat masih banyak yang 4M: minta makan, mengeluh miskin, merintih kesakitan, mau sekolah. Mengapa tidak uang sekian banyak itu diberikan seluas-luasnya untuk kesejahteraan rakyat?
Jika ada yang mengatakan penghapusan pilkada tidak langsung menciderai demokrasi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah demokrasi selama ini sudah berjalan dengan baik dan tidak tercederai? Pengalaman sebelumnya, masyarakat yang memiliki hak suara untuk memilih, malah banyak yang menjadi ‘golongan putih’. Demokrasi yang katanya tercermin dari pemilihan langsung toh juga sangat cacat. Dicacati oleh masyarakat itu sendiri.
Sudah menjadi rahasia umum juga bahwa praktik pilkada oleh masyarakat selama ini banyak memunculkan politik balas budi dari calon yang menang dengan mengarahkan program bantuan sosial hanya kepada kantong-kantong desa yang memilihnya.
Tak hanya itu, ada pula istilah “kejar setoran” membuat para pemimpin terpilih itu lupa bahwa tugas mereka sebenarnya adalah penyambung aspirasi rakyat, bukan mengeruk uang rakyat untuk mengembalikan modal mereka yang hilang selama kampanye. Bahkan Sekjen PPP mengatakan, kebutuhan mencari “uang kembalian” menjadikan 60 persen atau sebanyak 292 kepala daerah yang terpilih dalam pilkada langsung terjerat persoalan hukum.
Yah, terlepas dari asumsi-asumsi di atas, saya sangat pilu melihat status dan tweet rekan-rekan yang hanya bisa mencaci-maki negara bahkan presidennya sendiri. Ayo, bersikap dewasalah sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang terhormat ini. Jika berada di posisi pro atau kontra, berikan asumsi yang cerdas dan masuk akal sebagai pendukungnya. Saya yakin, bangsa Indonesia adalah bangsa yang bermoral, menjunjung tinggi kehormatan negara dan kepala negaranya, serta mampu berpikir jernih terhadap permasalahan yang sedang terjadi di negaranya.[]

©dilanovia 26092014 22:54